Monday, November 24, 2008

BERCATUR DALAM BISNIS

By: Kafi Kurnia - FB 24 Nov. 2008

Saya tidak ingat persisnya kapan. Tapi antara tahun 1987 dan tahun 1988, didalam mobil saya pernah bertanya, kepada almarhum Bapak MS.Kurnia, pendiri HERO Supermarket. “Apakah mencari uang itu sulit ?” Beliau cuma tertawa dan terseyum. “Mudah sekali”, begitu jawab beliau. Sambil pandangan matanya menatap seorang pengemis di pinggir jalan. “Pokoknya, asal kamu berani malu !”, begitu beliau menegaskan. Dan akhirnya sayapun mengerti. Bahwa mencari uang itu sebenarnya sangat mudah. Tengok saja, pengemis, pengamen, pemulung, tukang parkir liar, dstnya. Semua mencari uang dengan modal seadanya. Memang tidak ada jaminan uang-nya akan banyak. Tetapi membuktikan bahwa mencari uang itu mudah.

Lalu saya menyambung dengan pertanyaan berikutnya, “Kalau menjadi kaya raya, mudah atau sulit ?” Beliau lalu terbahak, katanya : “Nah, kaya raya itu sulit. Karena butuh strategi yang pas.” Beliau mencontohkan 2 warung yang menjual nasi dijalan yang sama. Berdua mereka start disaat yang sama. Keduanya menjual makanan yang mirip. Tapi selang beberapa tahun, yang satu maju dan makin ramai tapi satunya tetap saja sama seperti sedia kala. Tidak ada kemajuan yang berarti. Apakah artinya berbisnis menjadi sangat sulit ? Karena harus mahir berstrategi ?

Menurut Mpu Peniti, mentor dan guru spiritual saya, kebetulan punya hobi main catur. Saya juga seneng main catur sejak sekolah SMP dulu. Lewat Mpu Peniti, dan berkali-kali kami main catur, saya mendapat beberapa pelajaran dari beliau. Secara filosofis, mengajarkan saya tentang strategi dan aplikasi praktisnya dalam bisnis. Catur memang permainan strategi. Kita membuat satu langkah. Dan musuh kita bereaksi dengan langkah tandingan. Begitu seterusnya sampai satu pihak memenangkan posisi mematikan yang disebut – “skaak mat”. Bisnis juga sama. Mekanisme pasar dan kompetisi-nya juga berdasarkan aksi atau serangan dan reaksi balik. Namun anda mesti mengerti betul filosofisnya. Kata Sun Tzu, jangan menyerang musuh ! Tetapi seranglah strategi musuh ! Baru anda mendapatkan kemenangan yang sesungguhnya.

Pemain catur yang tidak berpengalaman, cenderung berkonsentrasi untuk memakan buah musuh sebanyak-banyaknya. Ia memancing pertempuran yang sifatnya fisik. Sebaliknya pemain catur yang berpengalaman cenderung untuk bermain dengan membaca langkah-langkah yang bakal diambil musuh. Ia mencari peluang untuk menempatkan buah caturnya yang berakibat “skaak mat”. Artinya ia lebih bersikap “antisipasi”. Sukses bisnis percaya atau tidak 100 persen tergantung kesiapan kita membuat move – “antisipasi”.
Pak Amat, adalah seorang pedagang musiman. Ia selalu berdagang berdasarkan musim. Setiap bulan Puasa ia berdagang timun suri. Sehabis Lebaran biasanya ia menjadi penyalur pembantu rumah tangga. Karena biasanya ada saja pembantu rumah tangga yang mudik dan tidak kembali lagi. Musim Lebaran Haji, ia berdagang hewan qurban. Bulan Agustus ia berdagang bendera. Dan tahun baru ia berdagang terompet. Ketika saya interview, pak Amat malu-malu mengatakan, pokoknya ia punya strategi sederhana, hanya menjual produk yang laku karena musimnya. Lebih mudah dan lebih menguntungkan. Pak Amat, bercatur dalam bisnis dengan eloknya. Ia tahu betul bagaimana caranya – mengantisipasi pasar !

Garry Kasparov, pensiunan juara catur dunia, pernah berkata dalam sebuah interviewnya, bahwa apabila setiap pemain sudah melangkah dalam sebuah pembukaan catur selama 3 langkah, maka saat itu juga sudah terbuka 9 juta posisi langkah bidak catur yang bisa diambil. Dan tugas tiap pemain adalah memperkirakan dan menghitung langkah musuh berikutnya dengan kemungkinan sebanyak itu. Dari kalkulasi ini, terbukti catur adalah permainan yang menuntut perhitungan yang sangat teliti, kesabaran yang sangat luar biasa, dan stamina yang tidak main-main. Jangan pernah meremehkan lawan anda ! Begitu nasehat Garry Kasparov. Bisnis juga sangat mirip situasi dan kondisinya. Nah, pemain catur yang sangat berpengalaman, tahu caranya memberdayakan dan memanfaatkan semua buah caturnya. Tidak ada satu buah catur-pun yang menjadi favorite. Semua sama peluangnya, tergantung letak dan posisinya. Dalam bisnis sebaiknya kita juga memberdayakan dan memanfaatkan sumber daya manusia yang kita miliki dalam satu keutuhan yang sama, dan ”team work” yang solid.

Mpu Peniti, pernah menasehati saya, kata beliau, “… kadang kita berpikir apa gunanya seorang yang bodoh dan tidak cantik. Berhentikan saja pegawai seperti itu. Tapi dalam krisis, kalau kita banyak hutang dan sering didatangi penagih hutang, ada baiknya resepsionis kita yang cantik jelita, dan pandai, justru kita ganti dengan resepsionis yang bodoh dan tidak cantik. Pasti ampuh, karena akan membuat frustasi sang penagih hutang. Ia jadi malas datang ketempat kita”. Saya tertawa ngakak mendengar wejangan Mpu Peniti itu. Karena terasa “nyooos” sekali.

Buah catur seperti pion, kuda, menteri, ratu, dan benteng memiliki langkah-langkah yang berbeda dengan posisi yang berbeda. Tetapi kemenangan kita sangat tergantung dari kombinasi mereka. Pion langkahnya terbatas. Namun disaat genting dan menjelang akhir permainan, pion seringkali menjadi aset yang tidak terduga. Kuda melangkah dengan huruf L, kelihatannya terbatas tetapi sering mengecoh, karena posisinya bisa mengunci lawan. Menteri langkahnya hanya bisa menyilang, tapi seringkali mampu menyelinap dan membuat serangan tak terduga. Dan benteng, seperti kekuatan militer, keras menghantam musuh dengan langkah rata. Hanya Ratu yang memiliki langkah flexible dan serba bisa. Sebuah sindiran bahwa terkadang wanita punya sejumlah langkah-langkah yang justru spektakuler. Celakanya Raja, yang paling penting justru dalam catur diposisikan dalam posisi lemah, tidak bisa melawan dan selalu harus dilindungi.

Dalam sepuluh tahun lebih saya bermain catur dengan Mpu Peniti, kita saling mengalahkan. Satu hal yang saya nikmati, adalah hanya dengan lebih banyak bermain, kita mampu mengasah intuisi kita dan lebih jeli menebak langkah musuh berikutnya. Dan hanya dengan bermain lebih banyak, kita bisa menjadi lebih mahir. Pengalaman ini pula yang saya jadikan strategi berbisnis. Ternyata semakin sering kita main, semakin mudah pula bisnis itu.

Friday, November 14, 2008

MEMBUAT BIO ETANOL DENGAN DESTILATOR SEDERHANA

Artikel ini di persembahkan oleh:

Nama:  AGUS MASTRIANTO

E_mail address:  agusmtri@yahoo.com

Disalin dari bioethanolmania.multiply.com 

MEMBUAT BIO ETANOL DENGAN DESTILATOR SEDERHANA

( TEKNOLOGI UTK MASYARAKAT DAN RUMAH TANGGA )

Dikarenakan banyaknya permintaan dan keinginan para pemula untuk dapat membuat bio etanol saya akan coba berikan cara membuat bio etanol dengan teknologi masyarakat yang murah meriah.

Biaya pembuatan antara 3 ~ 5 juta sdh dpt belajar buat bio etanol di pekarangan rumah sendiri dan dapat di sesuaikan dengan anggaran keuangan anda.

Bahan dapat dibuat dari tangki / drum bekas pakai pipa biasa , stainlees atau tembaga.

Kalau mau awet saya sarankan bahan dari stainless steel

Alat Distilasi ini sangat sederhana yaitu:

Mesin ini dirancang dengan biaya yang rendah dengan kapasitas produksi yang optimum.

Tetapi terdapat beberapa kelemahan. Antara lain:

a. Umur pakai mesin yang pendek (4 s/d 5 Bulan) bila bahan bukan dari stainless  

    steel

b. Kadar Etanol yang dihasilkan masih rendah (dibawah 70 %) untuk mencapai

    kadar 90 % diperlukan distilasi berulang ulang 2 atau 3 kali

Saran saya apabila menggunakan bahan baku singkong sbb:

Untuk aplikasi di masyarakat petani buat beberapa plasma / kelompok yg mempunyai kebun singkong sendiri jadi biaya produksinya tdk begitu besar kecuali kapasitas produksinya sudah besar.

Bila menginginkan kadar diatas 90 % gunakan distilasi colom / Rectifying colom akan lebih effisien.

Ajari para petani singkong cara budi daya singkong secara efektif shg hasil produktifitas nya maximal

Gunakan bibit singkong unggul kalo ada, yg menghasilkan singkong jumpah dan kualitas patinya tinggi

Usahakan kelangsungan bahan bakunya mencukupi , bila prod singkong berlimpah simpan sebagai gaplek sebagai cadangan bahan baku saat musim sulit singkong.

Bila di daerah anda tersedia tetes / molasses, nira gunakan bahan baku ini karena cost nya kecil proses membuat bio etanolnya lebih mudah.

Alat dan bahan :

Bila menggunakan bahan baku singkong diperlukan alat sbb :

1.      mesin penggiling./ pemarut berfungsi untuk menghaluskan bahan baku. dapat dibeli ditoko penjual alat-alat industri.

 

                          gbr A                       gbr.B                      gbr.C

2. Tangki pemasak. berfungsi untuk memasak dan mengaduk bahan baku dapat dibuat

    dari drum oli bekas gambar B

3. Kemudian dimasukan ke alat penukar panas (heat exchanger / cooler) dapat di buat dr

    drum oli bekas.alat penukar panas. berfungsi untuk mendinginkan bahan baku (saat 

    proses sakarifikasi) gambar C

   

Apabila menggunakan bahan baku Molases / tetes dr Pabrik Gula alat tersebut di atas tidak di perlukan lagi jadi akan lebih menghemat biaya peralatan dan biaya produksi nya akan lebih murah 

 

1.   Siapkan 3 DRUM bekas Oli Kapasitas 200 L

2.   Siapkan 1 atau 2 Drum plastic plastic kapasitas 150 L untuk tempat fermentasi

3.   Siapkan Pipa biasa , tembaga atau stainless steel sepanjang 15 Meter

4.   1 Buah Thermometer Untuk Cooking Tank / tangki pemasak dan 1 buah utk tangki  

      detilator

5.   Selang Heavy duty ( transparan ) diameter 1 “ sepanjang 2 Meter utk indicator level   

      tangki

6.   Selang Plastik Biasa diameter ¼ “ sepanjang 10-15 Meter utk cooler / pendingin

7.   Pompa Air Kecil untuk sirkulasi air di condenser

8.   Bikin Tungku Pemasak, dari pasangan batu bata , beton

9.   Pipa Besi ukuran ¾ “ sepanjang 2 Meter

10. Stop Kran Ukuran dan Drain Valve Ukuran ¾ “

11. Gelas / tabung ukur 250 cc utk cek kadar dan drum / galaon utk Penampung Etanol

12. Alkohol meter utk pengukur Kadar Alkohol

13 Selang plastic diameter 10 mm untuk keluarkan CO2 dr fermentor

 

Saran :

Buat Pembakar tungku dr drum bekas di potong 2 bagian utk bahan bakar gajen / saw dust karena murah dan  apinya cenderung stabil bisa tahan untuk memanaskan sampai 6 jam bisa juga pakai limbah bathok kelapa

Gunakan bahan bakar dr limbah yg murah apalagi klo gratis ,…saya juga pasti mau he..he.. . ,

kalau menggunakan kayu bakar apinya tidak stabil dan temperaturnya sulit di kontrol shg akan mempengaruhi kadar bio etanol yg keluar.

 

 

Cara Pembuatan

 

TANGKI FERMENTOR

Tangki fermentor ini berguna untuk memfermentasikan molasses (tetes Tebu) atau singkong sebelum proses destilasi berlangsung. Proses fermentasi ini dengan mencapurkan enzim alpha amilases atau campuran NPK,Ragi dan Urea ke dalam Cairan Tetes Tebu atau Bubur Singkong. Proses ini harus berlangsung secara aenorob, atau Hampa udara agar tidak terdapat kuman atau bakteri yang ikut masuk ke dalam tangki fermentor.

Jadi Saluran Duck neck di mulut tangki fermentor harus tertutup rapat,jangan sampai ada udara masuk.Udara hasil fermentasi yang keluar disalurkan melalui selang kecil yang disalurkan ke dalam Botol berisi air, dan posisi selang berada 2 cm dibawah tinggi permukaan air dalam botol tsbt. (lihat Gambar1)

 

          Gambar 1

Proses fermentasi ini berlangsung selama 3 atau 4 hari, atau biasanya ditandai dengan habisnya gelembung2 udara yang mucul di botol penampung C02.

 

PROSES PEMBUATAN MESIN DESTILASI

1.Tanki Distilator

Ambil 1 Drum dan Belah bagian Atas dan bagian bawah drum

Bersihkan bagian dalam Drum bekas Oli dari kotoran yang ada.

Di sisi Sebelah Bawah Drum Buat pelat yang dipotong menjadi cekung, lalu las kembali plat cekung ini di sisi bawah drum.

 

Gambar.

Pada Bagian Bawah drum Beri Lubang untuk saluran Drain dan Las dengan Pipa dan beri Stop kran pada pipa itu

Pada Sisi samping Drum bolongi untuk penempatan Thermometer pengukur suhu dalam drum, agarTemperatur Etanol sebesar 79 derajat C bisa selalu dikontrol.

Disisi samping yang lain beri Lubang juga di bagian atas dan bawah untuk menempatkan Alat Ukurketinggian bahan Baku. Alat ukur ini terbuat dari Selang Heavy duty sepanjang 1M dan di klem di sisi atasdan bawah drum.

Gambar.

Tutup Kembali dan Las Rapat Bagian Atas Drum dan beri lubang untuk jalannya Pipa Stainless untuk proses penguapan etanol.

 

2. Kondensor / Pendingin

Siapkan 2 Buah Drum dan Bolongi salah satu sisi ke dua drum tersebut, lalu satukan kedua bagian drum yang bolong dan Las dengan Rapat.

Setelah menyatu, Bolongi kembali Sisi bagian atas drum, untuk menempatkan lilitan pipa stainless gunamenjadikannya sebagai condenser.

Alirkan Pipa Stainless atau tembaga dari Mesin Destilasi ke drum condenser. Buat lingkaran dari pipasepanjang 5 M dengan diameter lilitan 40 cm sebanyak 10 tingkat di dalam condenser.

Pada sisi bagian atas beri lubang untuk menempatkan lubang inlet pipa untuk sirkulasi air masuk

 

                                             gambar 2 bahan tembaga

Dan pada bagian bawah beri lubang juga untuk sirkulasi air keluar ke arah pompa air

Lalu beri lubang pengeluaran dari pipa condenser untuk jalur keluarnya minyak bio-etanol yang dihasilkan.

 

 

                                     Gambar : Rangkaian alat destilator dan skema

 

 

 Cara membuat Bio etanol skala Rumah Tangga

1.   Ubi kayu segar 50 kg dibersihkan

2.   Dihaluskan dengan mesin penggiling

3.   Hasil penggilingan disaring

4.   Tambahkan air 40-50 liter, aduk dan panaskan pada alat pemasak.

5.   Penambahan 1,5 ml enzim alfa amilase (panaskan 30-60 menit pada temperatur 90C.

6.   Dinginkan (55-60C) dengan alat penukar panas, masukan lagi ke alat pemasak, 

      tambahkan 0,9 ml enzim   gluko amilase. pertahankan temperatur 55-60C (selama 3

      jam). dinginkan (kurang dari 30C) dengan alat penukar panas.

7.   Tambahkan 1 g ragi roti, urea 65 g, NPK 14 g. biarkan selama 3 hari dalam tangki  

      fermentasi.

8.   Hasil fermentasi ditandai dengan aroma seperti tape, suara gelembung gas naik dan 

      PH di atas 4.

9.   Pindahkan bioetanol ke evaporator.

10. Di evaporator, panaskan jaga temperatur 78 derajat Celsius (untuk kontrol

      temperatur).

11. Bioetanol yang keluar berkadar anatara 70 - 90 %

Bila menggunakan tetes tebu / molases anda tinggal melakukannya langsung mulai dari no 7 sampai selesai ( prosedur fermentasi )

 

 

PENTING DAN HARUS DIPERHATIKAN

1.Bio-etanol / Alkohol mempunyai sifat mudah menguap dan mudah terbakar,

2.Perhatikan dan kontrol peralatan distilasi, tangki dan pipa distilasi anda dr kebocoran

   saat melakukan  penyulingan utk meghindari bahaya kebakaran.

3.Pastikan peralatan distilasi anda tidak ada pipa yg buntu yg bisa menimbulkan tekanan

   balik selama penyulingan berlangsung kalau perlu tangki distilator diberi alat pengukur

   tekanan / pressure gauge.

4.Selama tdk ada tekanan balik distilasi anda akan berjalan pada tekanan normal ( 1 atm )

   dan tidak bakal meledak .

5.Pastikan fasilitas Air nya cukup, kebutuhan air untuk pendinginan terpenuhi dan pompa

   bejalan baik shg menghasilkan etanol terkondensasi dengan maximal dan fasilitas air ini

   akan sangat berguna sekali apabila sewaktu waktu terjadi kebakaran.

6.Selalu perhatikan keselamatan kerja dan hindari bahaya kebakaran.

 

SEMOGA BERMANFAAT

Ditulis ulang dari berbagai sumber oleh : Agus Mastrianto

Koperasi Agrobisnis Sukajaya Xwungu – Kendal

Sunday, November 09, 2008

Komunitas Peduli Bioetanol






Sabtu 8 Nopember 2008 bertempat di R. 409 kampus STEKPI Jakarta Selatan kurang lebih 30 orang "pecinta" bioetanol berkumpul untuk diskusi tentang apa, bagaimana proses dan kendala serta tantangan-tantangan yang ada dalam mengembangkan bioetanol.
Para peserta yang hadir berlatar belakang beragam dan tidak sedikit pula yang merasa "tersasar" kedalam komunitas ini.
Komunitas Peduli Bioetanol (KPB) keberadaannya dimulai dari anggota milis agromania yang beranggotakan lebih dari 8000 orang. Pertemuan ini pun dihadiri oleh pemilik milis agromania dan didukung pula oleh agromedia yang bergerak di bidang publikasi agri bisnis. 
Banyak saran dan ide-ide yang muncul sebagai rencana tindak lanjut dari pertemuan ini tetapi berhubung waktu yang sangat terbatas maka diskusi tentang tindak lanjut akan diteruskan dalam komunikasi selanjutnya di milis agromania.
Semoga pertemuan pertama ini menjadi pembuka jalan untuk kegiatan KPB khususnya dan anggota milis agromania umumnya.

Sunday, October 26, 2008

What's in a name?

Romeo Montague and Juliet Capulet meet and fall in love in Shakespeare's lyrical tale of "star-cross'd" lovers. They are doomed from the start as members of two warring families. Here Juliet tells Romeo that a name is an artificial and meaningless convention, and that she loves the person who is called "Montague", not the Montague name and not the Montague family. Romeo, out of his passion for Juliet, rejects his family name and vows, as Juliet asks, to "deny (his) father" and instead be "new baptized" as Juliet's lover. This one short line encapsulates the central struggle and tragedy of the play.

Cuplikan di atas menunjukkan betapa nama/nama keluarga cuma artifisial dan tidak berarti apa-apa buat mereka. Benarkah demikian?

Dibawah ini menunjukkan betapa nama/nama keluarga menjadi demikian penting dan sangat berarti buat setiap orang. Bisa dari pendekatan negatif dan positif.

Kita ketahui bersama bagaimana dalam kampanye pemilu Amerika, Barrack Obama dibuat sulit dengan nama tengahnya yang berbunyi ”Hussein” sehingga diplesetkan dia berasal dari Arab dan ada hubungan dekat dengan Sadam Hussein.

Setelah kejadian 911, betapa sulitnya orang-orang yang bernama ke-Araban (saya sengaja tidak menulis muslim, karena di Irak banyak warga non-muslim yang namanya beridentitas Arab) untuk berkunjung ke Amerika.

Nama keluarga menunjukkan keterkaitan mereka dengan nenek moyang/ identitas asal usul historis keluarga. Di Indonesia dan dunia umumnya penamaan seorang anak menjadi demikian penting hingga diperlukan persiapan luar biasa untuk bisa didapatkan nama anak yang bagus dan dibalik nama adalah ”doa”, dengan maksud agar sesuai dengan harapan orang tua kelak .

Buat daerah yang menganut patriakat biasanya menurunkan nama orang tua laki-laki kepada anak laki-lakinya dan juga terkadang kepada anak perempuannya sampai dia bersuami untuk memakai marga dari si suami. Ini bisa kita lihat pada kawan-kawan kita dari Suku Batak, Ambon, Menado dsb.

Suku Jawa dan Sunda tidak menurunkan nama marga Bapak kepada anak-anak lelakinya maupun ke anak perempuannya. Kalaupun ada yang memakai nama Bapaknya itu lebih kepada kebutuhan keterkaitan kepada orang tua ”yang sudah terkenal” untuk alasan-alasan tertentu.

Suku Minang(kabau) menganut matriakat sehingga nama suku diturunkan kepada anak-anak laki-laki dari suku ibunya dan dari ayah diturunkan gelarnya (sulit buat saya menjelaskan tentang maksud dari ”gelar” ini). Apakah menunjukkan derajat kebangsawanan atau apa?

Dalam menamakan anak, keluarga dari suku Minang ini boleh di bilang tidak ada pakem nya, apakah ini menunjukkan betapa ’urang awak” tidak terlalu mempermasalahkan ”sakral” nya penamaan seorang anak atau lebih kepada praktisnya saja. Buktinya banyak nama-nama ”urang awak”  yang sangat beragam hingga sulit di terka asalnya,  kalau tidak percaya check saja nama-nama di FB ini.

Contohnya ya saya sendiri lahir dan dibesarkan di Jakarta dan kedua orang tua asli dari Paris (Pariaman sekitarnya dan bersuku Chaniago bergelar Sutan) diberi nama Danil = God is my judge dan Hadi = nama orang Jawa pada umumnya dan sayapun tidak tahu artinya. Dalam beberapa literatur Al-Hadi itu adalah anak tertuanya Al-Mahdi.

Contoh berikutnya kawan saya yang asli Sum-Bar dan muslim bernama Christian N (saya tidak tulis penuh, karena belum minta izin). Nama akhirnya sangat kental Minang-nya. Dia sangat kerepotan dengan namanya karena kebetulan tidak sesuai dengan keyakinannya.

Bersyukur saya diberikan nama dengan 2 (dua) kata saja, saya tidak habis pikir buat kawan-kawan saya yang diberikan nama yang sangat panjang ada yang sampai 6 (enam) kata bahkan lebih. Betapa sulitnya mereka pada saat menuliskan namanya.

Selamat buat kawan-kawan asal Minang yang sudah mendapatkan identitas dari awal atas ke-Minangannya, bagi yang belum (masih krisis identitas) silahkan tambah gelar di depannya atau suku di belakang namanya....kalau berkenan tentunya.

From now on may I introduce my name:  Danil Hadi Chaniago....., gelar Sutan…! Keren kan…?

What's in a name?

 

Memulai bisnis apa ya kira2...?

Pada Rab, 15/10/08, Deni Danasenjaya <denids1@yahoo.com> menulis:
Dari: Deni Danasenjaya <denids1@yahoo.com>
Topik: [agromania] Memulai bisnis apa ya kira2...
Kepada: agromania@yahoogroups.com
Tanggal: Rabu, 15 Oktober, 2008, 6:14 AM

Dear all....
Saya saat ini bekerja sbg professional, agrobisnis adalah salahsatu 
minat saya karena orangtua & kakek juga dulu petani, cuma saya masih 
bingung kira2 peluang bisnis apa yang saya bisa di sambi saat ini?, 
pernah nyoba langsung terjun wirausaha tapi hasilnya malah jemblok, 
bukannya bisnis yang berkembang tapi tabungan yang dijadikan modal 
yang hilang, mana saat itu baru kena PHK pasca krismon lagi, trus 
terulang lagi sekitar 2 tahun yang lalu & kembali tabungan saya yang 
dijadikan modal hilang. 
Dari situ semangat wirausaha menyurut karena traumatik, walau ada 
teman yang memberi tahu mungkin saya salah membina networking yang 
tepat, lalu secara teknis saya pikir say aini gak pinter marketing & 
negosiasi dan modalnya juga pas2an (maklum pegawai tabungannya 
dikit).
Keahlian saya cuma me-manaje proses operasional organisasi di 
tempat saya bekerja, sesuatu yang gak bisa dijadikan bisnis kalo yang 
begini sptnya...

Mohon pencerahannya nih dari rekan2...

Wassalam

Kang Deni

 

Pada Sel, 21/10/08, D. Hadi <energimania@gmail.com> menulis:

Dari: D. Hadi <energimania@gmail.com>
Topik: Re: Bls: [agromania] Memulai bisnis apa ya kira2...
Kepada: 
agromania@yahoogroups.com
Tanggal: Selasa, 21 Oktober, 2008, 6:53 PM


Bung Deni:
Setelah membaca tulisan anda dibawah ini kurang lebih garis besar isinya.
Anda seorang profesional dan masih bekerja

  •   Minat agrobisnis
  • Pernah 2 kali merugi dalam wirausaha (usaha apa?)
  • Modal kecil
  • Keahlian di bidang proses manajemen operasional organisasi/perusaha an 
  • Pertanyaan: memulai bisnis apa ya kira-kira... ?

Anda sudah mempunyai modal utama untuk memulai usaha yaitu MINAT kebetulan di bidang agrobisnis. Sebagai seorang profesional dan masih bekerja artinya punya sumber dana (source of fund). Anda juga punya modal pengalaman yaitu pernah 2 x merugi (bukankah kegagalan adalah sukses yang tertunda?). Mempunyai keahlian dibidang manajemen operasional organisasi/perusahaan.

Jadi menurut saya, anda sudah memiliki cukup modal.
Karena di email anda tidak menyebutkan di usaha apa anda gagal, saya hanya bisa berasumsi positif saja bahwa usaha tersebut di bidang agrobisnis dan menggunakan modal cukup besar yang meyebabkan anda menjadi trauma atas kegagalan (sampai jeblok, kalau rugi sedikit jarang orang sampai trauma).

Untuk menjawab "memulai bisnis apa (lagi) ya kira-kira... " menurut saya
sebagai berikut:
Dari pengalaman saya (belum teruji secara ilmiah)

  • Mulailah dengan yang anda sukai/minati (hobbie) dan lebih bagus lagi sesuai dengan keahlian anda. Persis seperti teori minat dan bakat dalam seseorang memilih jurusan di sekolah atau perguruan tinggi.
  • Mulailah dengan modal kecil (maksimum menghabiskan 20% dari tabungan anda). Atau 20% dari penghasilan anda per bulan dengan asumsi anda tidak sedang mencicil KPR saat ini.
  • Namanya saja wirausaha, jadi jangan mulai usaha dengan berpartner/bermitra , karena anda sedang mulai usaha kemungkinan konflik dengan partner dalam mengambil keputusan selalu ada. Bermitra hanya  dilakukan kalau anda sudah menguasai A sampai Z dari usaha tersebut.
  • Usaha itu ada siklusnya, jadi jangan berhenti sampai 2 atau 3 kali siklus usaha (kebanyakan orang begitu gagal terus berhenti tanpa mau menganalisis penyebab kegagalannya) .

Dibawah ini saya sampaikan bagaimana memulai usaha sendiri yang sudah baku dan teruji secara ilmiah:

  • Pilih atau ciptakan ide bisnis (business ideas)
  • Buat rencana bisnis nya (business plan)
  • Sumber keuangan (financing)
  • Pilih bentuk usaha nya; (karena mandiri biasanya cv). Kalau kecil sekaliusahanya ya diabaikan saja.
  • Memulai usaha; ini adalah yang terpenting karena uang akan masuk dikarenakan uang anda juga akan keluar untuk dibelanjakan. Di mana lokasi usaha tersebut (rumah sendiri atau sewa tempat). Karena anda bekerja, mungkin perlu karyawan/buruh dsb.

Mudah-mudahan bisa memberikan pencerahan seperti yang diinginkan.

Salam,
D. Hadi

Sunday, October 12, 2008

How to Make a Million

These 7 industries hold seven-figure potential. Find out how to get started in each one--and take one step closer to a richer life.

Wine

One industry that's ripe for the picking is wine. You'll find opportunities in everything from wine bars to wine tastings to the wine aftermarket. And depending on your particular interests, there's a wide range of positions, from making wine to distributing it to selling it. Thanks to consumers' growing interest in more sophisticated foods and beverages, higher-end wines in particular are growing, says Mike Fisher, a partner with Global Wine Partners LLC, which provides business and financial advisory services for the wine industry. Consequently, Fisher predicts this segment will be trending upward for the long term.

However, the wine industry can be intimidating. Competition can be stiff and startup costs steep, but that's not to say such obstacles are insurmountable or unavoidable. "In this industry, there is a tremendous amount of entrepreneurship, and with that creativity comes an opportunity that doesn't necessarily involve a great deal of startup costs," says Michael Green, 44, who's proof that the industry can accommodate all types of entrepreneurs.

Green's appreciation for wine started at the age of 6, when he would accompany his father to the wine store. As a co-founder of Best Cellars, a wine retail store, and a wine and spirits consultant for Gourmet magazine, Green has built a lifetime of experience. A decade ago, his expertise fully matured when he took the natural next step and launched Liquid Assets Consulting Group, an experiential marketing and consulting group centered on wine and food. Since then, Green has nurtured New York City-based Liquid Assets to a projected $1.4 million in sales this year.

College Planning

At one time, applying for college was simply the first step in getting a higher education. Now it's a competitive process that has given birth to a whole industry aimed at preparing and positioning students for college. According to the National Center for Education Statistics, by 2013 college enrollment is projected to increase by 9 percent to 19.7 million students. Meanwhile, the American School Counselor Association reports that the national average ratio of students to counselors is only 476 to 1.

Indeed, the college application and admission process has morphed into a science, offering entrepreneurs with substantial knowledge of the industry unique opportunities to capitalize on their expertise--and incentivizing those who don't yet possess the know-how to hit the books.

"There will be more than 3 million [students] graduating from high school next year," says Katherine Cohen, founder of IvyWise, a decade-old educational consulting company that provides comprehensive admissions counseling services. It's projected to be the largest graduating class in the history of the country, so demand is greater than ever for Cohen's New York City-based business, which employs 10 counselors and serves about 250 clients in 27 states and 17 countries a year.

The IvyWise brand is strong, but that's largely a result of the solid foundation on which it was built. Cohen had read applications for Yale College, taught SAT prep classes and obtained a certificate in college counseling from UCLA before venturing out on her own with IvyWise. And while sales are impressive--a projected $1.5 million this year--she's had to maintain a high level of quality control to hit that mark. Shortly after launching the business, Cohen recorded her methodology into a manual, and about three years ago, she brought in business advisor, Liz Hamburg (who is also the "Launch Pad" columnist for Entrepreneur's StartUps), to implement systems that were crucial for moving forward.

Earlier this year, Cohen and Hamburg launched ApplyWise, a sister company that exists solely online. "We're able to leverage the experience and feedback we've gotten with one-on-one clients and translate it into a much more scalable, robust version that's applicable to people all over the world," says Hamburg, who expects sales for ApplyWise to reach about $400,000 this year.

Ready to put your skills to the test? Then be sure you know your stuff. "Really take the time to study the universities," advises Steven Roy Goodman, author of College Admissions Together and an expert for College Parents of America, an association dedicated to advocating for and serving on behalf of parents of college students. "While it seems like Harvard and Stanford are a lot alike, they're actually quite different, and it's important to understand the subtleties among the schools. Do your homework and spend time on research, because it's research that makes all the difference."

Staffing

If you're a people person and don't mind being caught in the middle, the staffing industry might be the perfect fit. Richard Wahlquist, president and CEO of the American Staffing Association, reports that about 3 million people go to work every day thanks to staffing companies. "The Bureau of Labor Statistics predicts that the employment services industry will add 691,500 new jobs by 2016. That's close to 20 percent growth over the period they're measuring, and it's about twice as fast as the projections for employment growth overall," says Wahlquist, adding that employment services is projected to be the second-fastest-growing industry as measured by new jobs created.

But the power behind staffing is far from secret, and many players have already cast their nets. Therefore, the best way to establish your business is to carve out your own niche. If you've worked as an accountant, attorney or paralegal, chances are you already have a good network of contacts from which to launch your business, so specializing in those niches will put you ahead of the game. Otherwise, the segments with the most promise, according to Wahlquist, are engineering, IT, legal support, accounting, finance and all the disciplines within health care. Wahlquist also recommends providing search and placement services and partnering with businesses to assist with their short-term and long-term projects and temporary and permanent talent.

Jill Ater, 45, Jodi Olin, 49, Liz Norwood, 45, and Heidi Crum, 37, have specialized in part-time placement since 2003. They are the founders of 10 til 2, a staffing company based in Denver that earns more than $1 million in annual franchisor sales. "As we study the trends of employees going forward, people are looking more and more for alternative work/life balance opportunities," says Olin. "Studies show that some of the newer members of the work force are looking for work hours that fit for them. They want to have the ability to play a little bit, and they want the ability to work from home. Telecommuting is huge, and the whole idea of flexibility with their business world is very, very important."

In 2006, in response to numerous requests to expand the business, the four founders decided to franchise the concept. Aware of their limitations, they hired a franchise specialist to work out the kinks and outsourced the task of developing a proprietary database. Today, they have safely secured their niche and expect to have 30 franchises sold by the end of this year.

Interested in putting people to work? Begin today by registering for Staffing World, the American Staffing Association's annual convention taking place at the end of this month (October 22 through October 25) in San Diego. Make sure to also visit ASA's website at staffingtoday.net to educate yourself about employment and labor law, which are the basics for succeeding in the industry.

 

Senior Care

Age might be more than just a number, but when it comes to understanding the potential of the senior-care industry, the numbers say it all. According to the National Institute on Aging, an organization whose mission is to understand the nature of aging and extend the active years of life, approximately 35 million Americans are age 65 or older, and that number is expected to double in the next 25 years. In addition, people age 85 and older constitute the fastest-growing segment of the U.S. population. About 4 million people are currently in this age group, and that number is expected to grow to 19 million by 2050.

With the average life expectancy longer than ever and more Americans expressing the desire to age at home, the need for in-home assistance is thriving. "This is about demographics, and we can only take credit for being at the right place at the right time," says Leo Landaverde, 37, a former vice president at a staffing company who opened a ComForcare Senior Services franchise with his wife, Sandra, 38, in North Hills, California. Since opening in 2003, they have already built their system up to more than 250 employees, serving about 500 clients. They were also the recipients of ComForcare's 2007 Franchise of the Year Award and currently operate the largest ComForcare franchise in the country. Sales are growing, too, with a 2008 projected increase of 15 percent over last year's $3 million.

The franchise gave the Landaverdes a helping hand and the freedom to implement new ideas, which has helped them grow their business exponentially. Always looking to expand their services, Leo and Sandra regularly research and introduce new services, such as giving veterans the resources to take advantage of the Veterans Administration Aid and Attendance Benefits program, as well as offering care for children with disabilities.

If senior care appeals to you, keep your finger on the pulse of the industry. The sector has already begun to evolve with wider use of technology, specifically for monitoring and communication purposes, says Merrily Orsini, founder of senior-care management company ElderCare Solutions and managing director at Corecubed, an integrated marketing communications agency that tailors many of its products to helping private-duty agencies succeed.

A lack of adequate staff members has many looking to technology to supplement care, says Orsini, whether it's developing web-based programs (Lotsa Helping Hands helps family and friends schedule care) or specializing in in-home adaptations to reduce the hours of care required. (National Association of Home Builders recently introduced a Certified Aging-In-Place Specialist designation program.) "Pay attention to what the customer is requesting, and look for niche needs that currently aren't being met," says Orsini, who also sees opportunities in creating planned retirement communities. "It's important to understand that this burgeoning demographic bulge just now beginning will change the landscape of the industry incredibly, and solutions that haven't yet been imagined will be in place in the next 10 years."

Children's Services

The economy can plummet and gas prices can skyrocket, but one thing remains constant: Kid-focused businesses are continuing to grow. Even as purse strings tighten, spending on kids--from their tutoring to their art classes--remains generous. "Parents will scrimp on items for themselves to get the best for their children," says Jennifer Ferguson, consumer insights and research director at Creative Consumer Concepts, an integrated, kid-focused brand marketing agency. Ferguson also notes that the market is being fueled by doting grandparents who have become increasingly involved in their grandchildren's lives.

Child enrichment and child fitness businesses in particular are enjoying healthy bottom lines. Having tapped into both segments, Albert Diaz, 49, and his wife, Maria Fernanda Diaz, 40, are perfectly positioned to ride the wave. In 2003, they opened a FasTracKids franchise, which offers a specialized curriculum in 12 subjects. They were so encouraged by the success they experienced with educational enrichment that they shifted their focus to physical enrichment. Two years ago, they introduced their Rye Brook, New York, community to JW Tumbles, a children's gym specializing in physical development. Because of the well-tested programs already put in place by the franchisor, the couple has been able to open two additional JW Tumbles locations and expects sales for the three locations to reach $1.5 million this year.

But as tempting as it might be to buy a franchise and wait for parents to show you the money, don't think of the industry as child's play. The Diazes are successful because they're completely hands-on in their business. Not only do they make sure their clients enjoy the experience from start to finish, but they also make it a top priority to learn names and keep the facilities spotless--and they train their employees to uphold the same business practices. Says Albert, "People will try something once, but what's going to keep them coming back is the whole experience."

And if you want your business to stand the test of time, make sure you're sufficiently capitalized to get through the growing pains. With the average JW Tumbles location measuring in at about 2,500 square feet, Albert estimates that startup costs for the franchise range anywhere from $150,000 to $225,000, and he recommends having an additional $50,000 in working capital to handle the first year. What are the trends in kids' businesses? Kids increasingly want to have a positive impact on the world and the environment, so businesses that can empower kids might enjoy broad appeal, says Ferguson.

And don't forget about moms. "This is the first time we have had four generations of women becoming mothers at the same time," says Ferguson. "Tap into a mom's desire to be a good mom with a product that works for kids and the whole family."

Pets

In homes across the U.S., animals of all shapes and sizes get the red carpet treatment. Americans are obsessed with their pets: The American Pet Products Association, or APPA, estimates that Americans will spend a whopping $43.4 billion on their furry companions just this year.

So why the craze? Baby boomers, whose children are leaving home, and young professionals, who are prioritizing their careers over raising children, have voids to fill, says Bob Vetere, president of APPA. "Because they're looking to pets to fill a human-type void, they are humanizing the pets," he says. "With that comes the desire to reward pets in human terms rather than pet terms. This broadens the opportunities for higher-priced goods and services."

Brennan Johnson and Jennifer Melton, who have backgrounds in marketing and structural engineering, respectively, accidentally discovered the industry's potential when Melton started making homemade treats for their newly adopted puppy that suffered from food allergies. The creations caused a sensation at their local animal shelter's bake sales, inspiring the husband-and-wife duo to officially launch Cloud Star, a manufacturer of natural pet products, in 1999. Two years later, their San Luis Obispo, California, business had already hit $1.5 million in sales, and it's projected to reach more than $5 million in sales this year. Their products, which range from dog biscuits to shampoos and conditioners, are available at health-food stores, pet supply stores, grocery stores and gift stores across the country. And the company has been growing an average of 35 percent per year.

With nearly a decade of success behind them, Melton and Johnson, both 34, have mastered the industry and have plenty of tips to share. Working full time at their day jobs for the first year and a half was crucial to their success. "When you're selling a product, it's critical that that money goes back into the company for expansion and shipping and other expenses of running a business," says Melton. "We always had an outside income until we got to the point where we could pay ourselves from Cloud Star." They've also seen countless entrepreneurs at trade shows who, after seeing interest from retailers, either couldn't deliver on the promised product or couldn't ship the order promptly enough.

You must also deliver a unique product to the market and stay true to your values and ethics, says Johnson. Cloud Star uses recyclable packaging, soy-based inks and skylights in its warehouse. The company also foregoes byproducts for all-natural ones and manufactures everything in the U.S., using American products.

Happy pets mean continued profits. Vetere predicts that high-tech products such as timed feeders and automatic litter box cleaners will continue to appeal to consumers. In addition, Vetere says, pet owners will continue to take a liking to pet clothing and specialized treats as well as services that allow them to maintain flexible lives, including pet-sitting, pet walking and pet-waste removal.

Green

Across all industries and all generations, a single word has people talking and taking action: green. These days, if you're doing good for the environment, consumers want to do good by you and show you another kind of green. According to a survey conducted last year by Cohn & Wolfe, Landor Associates, and Penn, Schoen & Berland Associates, consumers expected to double their spending on green products and services in 2008 to reach an estimated $500 billion annually. The survey also discovered that consumers' perceptions about green living have evolved and that they now perceive it as a direct and positive reflection of their social status in addition to recognizing its broader value to society and the world.

For husband-and-wife entrepreneurs Satoko Asai and Mohamed Elgayar, the first clear sign that organic had gone mainstream came when their baby clothing business, Sckoon Organics, was featured on the cover of American Baby earlier this year. The green movement has boosted the company's sales projections to about $3 million this year, but for Asai and Elgayar, who started their business in 2003 before green was really big, their success has also come from their decision to add color and style to organic cotton at a time when the word organic was often equated with plain, oatmeal-colored fabrics.

Their overwhelming success also has to do with how the pair maximized the potential of the internet, using their website, sckoon.com, not only as a tool to educate consumers about organics, but also as a distribution channel to grow their Hampton Bays, New York, company into a global brand. Launching their site in both English and Japanese and offering Japanese consumers the option to buy in yen made their brand easily accessible. They're also constantly innovating: They launched a pet clothing line last year and baby bedding just this month. "You have to stand out," says Elgayar, 46. "You can't stand out presenting the same old stuff that's in the market. You have to come up with something and believe in it and go for it."

They currently sell to 560 stores--baby boutiques, eco-stores and health stores in 22 countries--and will open distribution centers in Japan and the United Kingdom by the end of this year. "The pie is getting bigger," says Asai, 44. "But our aim has been the global market from the beginning."

Dari: entrepreneur.com

by Sara Wilson
Friday, October 10, 2008